Tugu Pers Mendung di Kawangkoan, Kabupaten Minahasa |
Dengan pakaian putih dan peci hitam di kepalanya, Bung Karno
berdiri tegak di depan standing mic. Memegang secarik kertas yang ditatapnya,
dan mulutnya sedikit terbuka.
Di belakangnya berdiri Bung Hatta, seorang ajudan dan
beberapa orang lainnya. Saat itu 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB di Jalan
Pegangsaan Timur nomor 56, yang tak lain adalah kediaman Presiden pertama
Republik Indonesia tersebut.
Itu adalah pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, yang
diproklamirkan oleh orang nomor satu Indonesia kala itu.
Peristiwa besar itu diabadikan pada sebuah foto, dengan
balutan hitam putih. Foto itu telah mendunia dan menjadi bukti sejarah bahwa
Indonesia telah bebas dari jajahan bangsa asing.
Siapa yang tak kenal foto itu? Banyak di antara kita pasti
pernah melihatnya. Foto itu pula yang menyebar ke negara-negara lain sebagai
bentuk pengakuan Indonesia telah merdeka.
Foto itu memang dikenal, tapi siapa tangan dingin yang
mengabadikannya, tak banyak orang yang tahu. Frans Soemarto Mendur adalah
punggawa di balik foto itu. Saat itu ia sebagai wartawan Asia Raya.
Alex Mendur (kiri), Frans Mendur (kanan), beserta foto pembacaan teks Proklamasi oleh Soekarno dan pengibaran Bendera Merah Putih yang diabadikan tangan dingin Frans Mendur |
Frans Mendur adalah putra asli Minahasa, Sulawesi Utara. Tak
hanya Frans, adiknya Alex Impurung Mendur yang juga bekerja di Asia Raya juga
turut mengabadikan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia lewat kamera
jenis Leica yang digunakan keduanya.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap keduanya, dibangun Tugu
Pers Mendur di tanah kelahiran mereka di Kelurahan Talikuran, Kecamatan
Kawangkoan, Kabupaten Minahasa.
Patung keduanya dibangun berdiri di atas kamera jenis Leica
yang menjadi senjata keduanya. Di sebelah kiri adalah Alex dan kanan adalah
Frans.
Tugu ini diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
11 Februari 2012, bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional yang digelar
di Manado, Sulawesi Utara.
Di belakang tugu yang dicat emas ini, berdiri sebuah rumah
panggung kecil khas Minahasa yang dicat putih. Di dalamnya dipajang 130 foto
hasil jepretan keduanya pada masa perjuangan Indonesia dulu.
Lima foto Frans yang paling dikenal yakni pembacaan teks
proklamasi oleh Bung Karno, upacara pengibaran bendera, teks proklamasi tulisan
tangan asli, teks proklamasi ketikan, serta suasana upacara.
Sementara hasil karya Alex yang paling dikenal yakni
penjemputan Jendral Sudirman saat perang geryla, Bandung lautan api, Konferensi
Meja Bundar, Konferensi Asia-Afrika, Perjanjian Lingkar Jati, Supersemar, Bung
Tomo saat memkabar semangat rakyat pada 10 November 1945.
Alex sebenarnya juga mengabadikan momen detik-detik
proklamasi tersebut, hanya saja ia tertangkap tentara Jepang, yang lalu merusak
filmnya. Sementara Frans lolos dari kejadian itu.
"Alex ketemu tentara Jepang, diperiksa, dan filmnya
dirusak. Saat itu Frans tahu kalau film Alex dirusak. Frans lalu menyimpan
kamera dan filmnya di bawah tanah, tak jauh dari kantor berita Asia Raya,"
ujar Pierre Mendur, penjaga museum kecil tersebut, Selasa (26/05/2015).
Setelah tiga hari dikubur, Frans lalu mengambil kembali
kamera dan film yang dikuburnya. Seminggu setelah itu dicetak dan sebulan
kemudian terbit di harian Asia Raya, tempat dimana keduanya bekerja.
"Foto itu kemudian menyebar ke luar negeri, dan diakui
bahwa Indonesia telah merdeka," ujar Pierre yang merupakan cucu keduanya.
130 foto yang terpasang bernuansa hitam putih, berukuran
10R. Ruangan begitu sederhana. Foto-foto itu dipajang keliling dinding ruangan.
Sementara hanya ada satu papan yang berdiri di tengah.
Di situ dipajang foto close up Frans dan Alex, serta karya
Frans saat detik-detik proklmasi, dan pengibaran bendera. Banyak peristiwa
besar dari 130 foto itu, selain karya keduanya yang banyak dikenal.
Pierre mengatakan, masih banyak lagi karya keduanya yang tak
dipajang. Bahkan menurutnya ada ribuan peristiwa masa-masa perjuangan
kemerdekaan dulu. Hanya saja, rumah tersebut tak representatif untuk dipajang
semuanya.
Kata dia, film asli foto-foto tersebut ada di perpustakaan
nasional. Tapi lima foto terkenal karya Frans, yakni suasana detik-detik
kemerdekaan ada pada keluarga. "Lima foto itu sengaja disimpan keluarga.
Kamera Leica mereka juga masih ada," tuturnya.
Tugu beserta museum kecil ini dibuka untuk umum. Dibuka
setiap hari, dari pukul 07.00 - 17.00 Wita. Berada di sini, pengunjung serasa
dibawa kembali ke zaman foto hitam putih itu. Banyak wisatawan yang berkunjung,
tapi umumnya orang luar daerah.
"Di sini banyak yang datang, tapi orang luar Sulut.
Orang-orang lokal sini malah jarang. Sayangnya anak-anak sekolah juga jarang
sekali. Padahal ini sangat bermanfaat," ujar Pierre lagi.
Akses ke lokasi ini sangat mudah. Jalan dalam keadaan bagus
dan tepat berada di pinggir jalan raya, ketika baru memasuki Kecamatan
Kawangkoan.
Dari Kota Manado, butuh sekitar 90 menit berkendara sampai
ke tujuan. Tepat di sebelah kiri, tugu ini akan jelas terlihat.
Di buku-buku sejarah anak-anak Sekolah Dasar maupun
tingkatan berikutnya memperlihatkan foto-foto tersebut. Tapi melihat cetakannya
langsung bisa menambah pengetahuan lebih.
Terlebih di tempat ini, pengelola akan menjelaskan secara
rinci cerita di balik berbagai foto karya Frans dan Alex.
No comments:
Post a Comment